By: Munir
“Tiiit..tiit…tiit”
“Aduh…berisik amat sih nih jam. Nggak tahu orang masih ngantuk apa?” kuraih jam weeker di meja. Dan dengan pandangan yang masih sayu, kupandangi jarum jamnya.
“Brak..,” Kubanting jam itu. Nggak disangka sudah jam setengah tujuh. Padahal waktu shubuh jam enam lebih satu menit.
“Astaghfirullahal’adzim, shubuh hampir lewat” bergegas kuberlari menuju kamar mandi untuk wudhu. Dan segera sholat shubuh.
ooOoo
“Alhamdulillah,” kuakhiri dzikir pagiku. Kulipat sajadah, dan berjalan menuju kursi di depan komputer. Mr. Meiyer memang hebat, nggak ada dosen yang memberi tugas sehebat ini. Akibatnya, sungguh hari-hari yang melelahkan. Aku harus rajin pergi ke perpustakaan, mencari data via internet, dan harus lebih mengakrabkan diri dengan biokimia. Serasa makin habis rambutku. Sejenak kualihkan pandangan menuju meja belajar. Ada satu kejanggalan. Buku-buku di meja serasa berkurang.
“Apa ada maling masuk ya..?” pikirku dalam hati.
Dengan sedikit gontai kumencoba berjalan menuju pintu.
“Ah nggak apa-apa,” batinku bicara.
Pintu memang tetap terkunci. Tapi, baru saja kubalikkan badan. Sebuah surat beramplop biru tergantung di papan stairoform di seberang pintu. Penasaran, akhirnya aku mendekat ke pintu, dan kuraih surat itu.
“Untuk adikku, sahabatku, dan insya Allah hamba Allah yang setia. Arif di kamar. He..he..he..”
Sebuah surat dari Ahmad, kakak angkatan dan kawan satu kamarku yang asal Jenin.
“Ngapain nih bocah pake nulis surat segala?” pikirku.
Kupalingkan wajah menuju tempat tidur tingkat. Ahmad udah nggak ada. Pantas aja, hari ini aku kesiangan sholat shubuh. Biasanya, dialah yang membangunkanku. Sambil berjalan, kubuka surat itu.
Assalaamu’alaikum ya ?Abdallah,
Bagaimana kabarmu pagi ini? Nggak telat khan sholat shubuhnya? ?Afwan, jatah makan malammu kuhabiskan. Maklum, keadaan darurat. Hajat yang satu ini sudah nggak bisa ditunda lagi. Karena antum belum pulang, saya pikir antum makan di luar. Jadi tanpa malu kuhabiskan saja jatahmu. Ridho khan..? Kalo nggak ridho, biar nanti saya ganti dengan matabak mesir oke? Uppsss…”
“He..he..he..,” dasar Ahmad. Candanya nggak pernah hilang. Bisa aja bikin orang tertawa. Kulanjutkan membaca suratnya…
Rif, saat antum baca surat ini, saya sudah diperjalanan pulang menuju Jenin. Saya naik penerbangan pertama Jordan Air via Flughafen Karlsruhe. Aduh Rif, udah nggak tahan hati ini menahan lebih lama lagi. Tangan ini serasa gatal untuk segera ikut ber-intifadhah, memanggul senjata, dan menghancurkan pos-pos polisi dan kendaraan tempur Israel. Menghancurkan Israel bukan tugas satu atau dua kelompok aja, tapi tugas seluruh kaum Muslimin. Saya Muslim, dan putra Palestina. Jadi, saya pulang deh kesana. Dan berjuang disana. Jangan kangen ya! Kalo kangen, cepetan kelarin tuh kuliah, terus pulang ke Indonesia. Berjuang di sana. Jangan ngetem terus di kampus. Emang sekuriti? Islam tempatnya di seluruh muka bumi. Dan bisa tegak di manapun. Ayo cepet dong..!
Eh Rif, saksikan ya demi Allah. Saya janji. Micronuke hasil skripsi, akan segera saya buat di sana. Dan sasaran pertama, adalah pos polisi di depan Masjid al-Aqsha. Doain ya biar syahid, bisa senyum di hadapan Allah, dan tetap handsome dong seperti sekarang.”
Sejenak kurenungkan baik-baik kata-kata terakhirnya. Aku tersenyum haru.
“Semoga Allah menempatkanmu di jajaran para syuhada” doaku dalam tangis.
ooOoo
Sehari sejak kepergian Ahmad ke Jenin.
Hari-hari di kampus makin melelahkan dan menjengkelkan. Tadi pagi aku sempat gondok. Mr. Meiyer bukan hanya menyobek kertas tugasku. Tapi kata-kata kotor full rasis dan pure nasionalis sempat meluncur dari mulutnya.
“Pulanglah saja sana ke negeri asalmu. Bercocok tanamlah selayaknya nenek moyangmu di zaman Pithecantropus Phaleojavanicus. Mata kuliah ini tidak cocok buat bangsamu. Tidurlah lagi.”
“Huh.., Dasar wong londo. Omongane ora nggenahe ati” kataku dalam hati.
“Untung aja doi ngomongnya depan gue. Coba ngomongnya di Indonesia. Bukan cuman tawuran antar kampung, perang dunia ke-III bakal kejadian deh. Heh!” aku tersenyum kecut.
Wajahku kembali berlipat-lipat saat ingat kertas tugasku yang disobeknya. Yah, itulah orang Jerman. Pede banget dengan ras Arya-nya. Apalagi semboyan Deutchland Hueber Allez-nya. Wajar dulu Yahudi terkapar.
“Coba orang Islam pede dengan Islam-nya. Pasti lebih dahsyat dari orang-orang Jerman,” pikirku dengan wajah yang masih cemberut, kulalui koridor kampus.
“Assalamu’alaykum ya akhi…” sebuah salam menyentil telingaku dari belakang. Sebuah suara wanita. Seraya menebak-nebak, kupalingkan wajahku.
“Oh.., Wa’alaykum salam warahmatullah.” Ternyata Farah. Kawan satu kelasku. Seorang muslimah asal Lebanon.
“Warum Ihr Gesicht wurde heute niedergedr?ckt? Have a big problem?” tanyanya
“Oh No! Just a little problem with Mr. Meiyer. He ripped my task paper.”
“Innalillahi, pasti sangat kesal ya..?”
“Tidak pada orangnya. Hanya sikapnya saja yang sedikit over. Jarang di restart barangkali” Jawabku, enggan menunjukkan perasaan yang sebenarnya.
“Antum mau kemana sekarang? tanyanya lagi.
“Saya harus ke perpustakaan mencari buku-buku rujukan dan menambahkannya dengan data dari internet. Saya harus menyusun ulang tugas ini.” Jawabku.
“Baiklah, kalau begitu saya duluan. Saya harus halqah sore ini. Assalamu’alaykum,” Farah pun berlalu dengan cepat.
“Wa’alaykumsalam warahmatullah.” Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Aku iri padanya, dan juga Ahmad. Hebat di kelas, aktif pula berdakwah. Kenapa ya aku masih begini?
ooOoo
Kubuka sebuah browser internet explorer, dan segera menuju sebuah situs search engine. Iseng-iseng sambil mencari data, akupun mencek e-mailku. Hanya satu surat yang masuk. Tapi surat ini istimewa. Surat ini datang dari Ahmad.
“Assalamu’alaykum ya ?Abdallah” sebuah salam dengan akhiran yang begitu mulia. Dan itu hanya ia ucapkan untukku.
Hari ini aku telah sampai di Jenin. Meski public internet ada, tapi koneksinya payah. Maklumlah, izinnya harus kepada Israel. Dan ngerti dong perangai Israel? Bagaimana hari ini? Masih kesiangan sholat shubuh?
Hmm.. ia kembali meledekku. Namun ledekan itu pantas, karena pagi ini lagi-lagi aku terlambat bangun. Aku lanjutkan baca e-mailnya.
Dan bagaimana harimu di kampus? Masih pusing dengan tugas-tugas? Tenanglah sobat, jangan kau pusingkan. Belajar, berdoa, dan bertawakallah pada Allah. Insya Allah kau akan berhasil. Segera selesaikan kuliahmu. Pulang ke Indonesia, berdakwah dan berjihadlah. Sudah terlalu lama Islam menunggu kita. Akupun sudah rindu kita kembali dipersatukan. Tidak hanya dengan perasaan, tapi dalam satu negara. Hari ini aku akan pergi berjumpa saudara-saudara kita di sini. Ramadhan sudah dekat, medan Jihad akan lebih membara. Doakan aku agar segera menemui Allah dengan tersenyum. Dan selamat berjuang.
Wassalam.
Aku kembali merenung. Allah memberikan anugerah-Nya padaku. Ditempatkannya orang-orang yang spesial di sisiku. Tapi, kenapa aku masih begini?
“Ashtagfirullah al-adzim..” lamunanku terhempas. Kembali kusibukkan diri mencari data-data biokimia yang kubutuhkan. Harus segera kuakhiri kuliah ini. Pulang dan berjuang. Nggak rela hati ini kalau harus kalah lagi dari saudara-saudaraku yang lain.
ooOoo
Hari-hari terus berlalu. Aku masih disibukkan dengan tugas. Sementara Ahmad, dia berjanji untuk berusaha mengirim e-mail minimal seminggu sekali. Dalam e-mailnya yang terakhir, dia bercerita tentang keadaan di sana. Polisi dan tentara yahudi, bangsa kera laknatullah ?alaikh itu makin menjadi-jadi melakukan pembantaian. Entah, kemana warga dunia saat ini. Apakah masih tertidur pulas? Atau hati, mulut dan tangan mereka telah terkunci? Kemana ?Izzah dari ummat ini..?
Ahmad bercerita, hari jumat di awal Ramadhan ini. Ia baru saja ditangkap oleh shin-Bet dan para penjagal Mossad, setelah melakukan pemboman terhadap pos penjagaan Israel di Jenin. Tangan kirinya patah, bibir dan dahinya penuh luka. Ia dilepaskan, setelah para intel tersebut gagal mengorek informasi darinya. Namun ia tetap diawasi. Selain karena seorang fisikawan alumni Jerman, iapun salah seorang ahli membuat bom. Dan itu telah diketahui Collection Department Mossad saat ia masih kuliah.
“Assalamu’alaykum..,assalamu’alaykum..” ringtone ponsel polyphonic-ku berbunyi.
“Halo, Assalamu’alaykum..” sapaku pada si penelpon.
“Wa’alaykum salam warahmatullah. Akhi ini saya, Jamal. Situs kita disegel oleh CIA. Karena diduga terkait dengan yang mereka sebut teroris. Apa yang harus kita lakukan? tanya si penelpon.
“Innalillahi, apa yang mereka cari dari situs itu. Bukankah hanya sebuah situs gratisan yang masih dianggap murahan? Aku balik bertanya.
“Entahlah akhi. Menurut seorang anggota GForce, pimpinan perusahaan providernya telah ditangkap oleh mereka.” Terang Jamal.
“Sepertinya.., sampai di sini proyek situs kita. Kita nggak bisa bertindak apa-apa. Andai kita menggantinya dengan membuat situs baru, bagaimana dengan data-data kita disana?”
“Apa ini berarti kita menyerah?” tanya Jamal.
“Tidak akhi., kita nggak bisa begitu. Setidaknya kita bisa buat situs yang baru.” Sambungnya.
“Baik, segera kumpulkan kawan-kawan. Ajak juga senior kita ?Ali, Fateeh dan Ridwan. Kita rumuskan semuanya di sini,” pintaku pada Jamal.
Tak kusangka. Perang ini akan dimulai. Bukan perang antar agama macam perang salib lagi. Tapi perang ini adalah perang ideologi.
ooOoo
“Baik, karena semuanya telah berkumpul. Kita mulai saja forum pertemuan ini.” Ujar ?Ali, seniorku yang anak Informatika.
“Kita semua telah sama-sama tahu. CIA telah mengobrak-abrik situs kita. Meski hanya situs gratisan yang murahan, tapi ternyata sudah dianggap bagian dari teroris. He.., he..he.., gimana situs yang lebih besar ya..?” guyonnya.
“Baik, tak ada lagi waktu untuk kesal, apalagi memikirkan lagi nasib situs ini. Kita harus membuat situs yang baru, yang lebih kuat, hebat, dan tentunya lebih canggih.” ?Ali, warga Jerman yang keturunan Turki itu terus menyemangati.
“Apa kita tidak coba membalas mereka? Minimal, kita tembus sistem keamanan mereka dan tebar virus di sana. Bukankah kawan-kawan hacker yang lain siap membantu?” Fareedh, mahasiswa elektro dari Malaysia-pun ikut memberi masukan.
“Apakah antum semua yang hadir menyetujuinya..?” tanyaku pada floor.
“Saya kira semuanya setuju. Toh ini kan uslub dalam dakwah aja” Fareedh kembali berkomentar. “Saya tidak ingin memaksakan kehendak saya pada antum semua. Semoga Allah menjauhi saya dari sifat dzalim. “Silahkan tuangkan ide anda.” Sambungnya.
Lima belas menit berlalu. Namun tak seorangpun dari kami yang berkomentar.
“Baik.., kalau memang tak ada yang menolak. Berarti antum semua setuju.” ?Ali kembali berbicara.
“Rif.., karena antum sebagai pimpinan proyek yang lalu. Sekarang saatnya bagi-bagi tugas,” sambungnya.
“Baik kalau begitu.., saya akan bagi tugas buat antum semua. Saya, ?Ali, Jamal, Fareedh dan Ridwan akan menghubungi kawan-kawan hacker di negeri lain. Sekaligus bersama-sama merumuskan serangan balik kepada mereka. Yang lain.., siapkan diri. Bagi yang mahir membuat desain web, jago php dan MySql, siapkan diri juga. Sambil kita menyerang mereka, kita juga akan meneruskan proyek utama kita. Pembuatan situs yang baru. Dan tak lupa, pengorbanan kita akan terus berlangsung. Untuk proyek ini, hubungi kawan-kawan muslim di kampus dan yang dapat dihubungi. Galang dana dari mereka dan kita juga termasuk.” Ujarku memimpin kelompok.
ooOoo
Kian hari kesibukanku kian bertambah; harus membalas serangan orang-orang kafir terhadap situs kami, belajar di kampus, dan tak lupa tugas biokimiaku yang hampir habis waktunya. Namun alhamdulillah, aku dapat mensyukuri seluruh kesibukan ini sebagai nikmat dari-Nya. Aku kembali mengunjungi lab komputer kampus. Dan kembali mencari data untuk tugasku. Jendela situs www.biochemistry.com kubuka. Tak lupa, akupun mengecek e-mail. Semoga Ahmad, mengirim berita hari ini. Dan benar saja, sesaat kemudian jendela message inbox telah kubuka. Ahmad mengirim berita kemarin.
Assalamu’alaykum ya ?Abdallah..,
Aku tahu, antum semua sedang sibuk. Bukankah situs yang dulu kita bangun bersama telah hancur oleh agen CIA terkutuk itu? Bukankah Allah telah membolehkan kita untuk membalasnya? Ayo balaslah! Kalian pasti mampu. Kita nggak akan menyerah dari mereka.
Adapun denganku,, aku bersyukur hanya kepada Allah. Aku telah menemui orang-orang yang dianggap pemimpin oleh beberapa kelompok Islam. Alhamdulillah, mereka sadar. Tidak ada alasan bagi mereka untuk berdiri sendiri-sendiri. Allah menurunkan perintah untuk berjuang pada seluruh Muslim. Bukan individu atau golongan. Dari para pemimpin kelompok itu, akhirnya aku bisa mengumpulkan para ilmuwan Islam dari kelompok masing-masing. Dari merekalah aku mendapat informasi cara mendapat uranium dan plutonium. Bahan baku bagi micronuke-ku. Setelah menyempurnakannya, kini ukurannya tidak lagi seukuran dinamit. Ukurannya hanya sebesar lampu plip-plop. Namun kekuatannya tetap. Dan micronuke-ku ini, kini telah terpasang di balik kuku ibu jari kakiku. Asyik ya.., hidup dengan bom menempel di badan?
Dasar! Ahmad.., candanya tak pernah hilang. Meski segenting apapun situasinya. Aku lanjutkan baca e-mailnya..
Aku mendapat kehormatan untuk menjadi martir pembuka. Sesuai dengan penjadwalan, bom ini akan meledak hari Jum’at besok lusa pukul 13.00. Dan sasaranku tidak berubah. Akan kuhancurkan pos polisi di depan al-Aqsha. Tidak layak bangsa kera itu berdiri di muka al-Aqsha yang mulia, dan seluruh tanah kaum muslimin. Sebagaimana ?Umar al-Faruq telah membebaskannya dulu. Tidak layak mereka berdiri dengan angkuhnya di depan kita, Ummat yang dimuliakan Allah dengan Islam-Nya.”
Aku tersentak membacanya. Ini berarti..,
“Ini hari terakhir..” aku berdiri berteriak, mengagetkan seluruh penghuni lab komputer yang sedang asyik di depan komputer masing-masing. Air mataku serentak keluar, membasahi pipi. Penasaran, aku kembali baca e-mail dari sahabatku ini..
Mulai hari ini, akan kubuka kafiyeh yang selalu menutup wajahku. Akan kutunjukkan pada mereka, laknatullah alaikh itu. Inilah wajah orang yang mereka selalu awasi sejak di Jerman. Akan kutunjukkan pada mereka, meski tanpa kehadiran seorang khalifah yang mulia. Yang memerintah manusia dengan adil dan bijaksana, yang tak pernah ridho seorang warganya tergangu oleh siapapun. Laksana seorang Mu’tashim billah yang tak rela seorang warga muslimahnya diganggu. Laksana seorang ?Umar ibnu al-Khattab, yang tak rela melihat seorang kafir dzimmi kehilangan gubugnya oleh walinya sendiri. Akan kutunjukkan pada mereka, laknatullah alaikh itu. Kaum muslimin masih bertaji. Aqidah ini masih di tangan.
Tangisku tak jua reda, justru terus mengalir. Dan? bahkan . ki rannya ium. bahan m dari kelompok masing.? belajar di kampus, dan tak terus mengalir sambil membaca e-mail itu.
Doakan aku agar semuanya berjalan lancar, agar aku bisa menemui Rabb-ku dengan senyum dan tanpa beban, dan agar aku bisa mendapatkan gelar sebagai seorang syuhada. Bersama Hamzah ibnu ?Abdul Muthalib, ?Abdullah bin Jahsy, Musy’ab bin ?Umair dan sahabat-sahabatku ?Izzuddin al-Qassam, Amjad al-Fayed. Sahabatku.., apapun yang terjadi. Teruslah berjuang. Bendera Laa ilaha Illa Allah, Muhammad Rasulullah harus menaungi bumi. Kekhilafahan harus kembali. Dan seluruh kaum muslimin berdiri di belakang seorang khalifah yang agung. Semoga Allah Swt. mempertemukan kita kembali di Jannah-Nya. Tempat yang begitu indah. Yang selalu kita impikan selama tidur dan kita bicarakan menjelangnya.”
Tak kuat lagi kutahan air mata dan tangis yang terus keluar. Tanpa terpikir menutup seluruh windows explorer, apalagi mencari data untuk tugasku. Akupun segera berlari meninggalkan lab. Namun sayang, baru saja kulalui pintu lab. Satu kompi militärisch, puluhan KSK (Kommando Spezialkräfte) dan sekitar lima orang anggota GSG-9 menghampiriku.
“Anda yang bernama Arif Budhi Sulistyo? Bersiaplah. Anda kami tahan atas tuduhan percobaan Hacking terhadap situs milik GSG-9 dan CIA. Dan upaya phreaking terhadap sambungan telepon pemerintah. Anda memiliki hak untuk membela diri dan didampingi oleh pengacara. Jika anda tidak mampu, maka pengadilan yang akan menyediakan pembela bagi anda. Kemasi barang anda. Karena jika anda terbukti bersalah, anda akan dideportasi dari sini. Tidak ada tempat bagi seorang cracker di tanah Jerman,” jelas komandan kompi tersebut panjang lebar tanpa memberiku kesempatan bicara.
Ah, sebuah fitnah besar menimpaku. Aku tak mampu melawan, hanya kata hatiku yang bergumam, “Ya ?Abdallah, ya Ahmad Mubarak. Tunggulah aku….”[]
(To Brother Steiteh in Lebanon, Syaiful Haq, and A. Barakat in Jenin. Baraka-Llahu fii kum)
0 komentar:
Posting Komentar
Jagalah perkataan anda,,
Karena sesungguhnya orang itu,,
di lihat dari perkataan nya juga